6.1.2 Masyarakat Tolaki dan Pemilihan Gubernur
Berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004, pemilihan Gubernur Sultra berlangsung dengan sistem pemilihan langsung
oleh masyarakat dalam bentuk satu pasangan calon. Pemilihan secara langsung ini
melibatkan peran aktifmasyarakat dalam menentukan pilihan kepala daerahnya,
masyarakat memiliki suara mutlak menetukan pemenang pilkada. Meskipun figur
beretnis Tolaki dalamtujuan politiknya membawa identitas etnisnya, hal ini
tidak langsung menjadikan optimalisasi kekuatan politik bermain pada
ikatan-ikatan solidaritas semata. Pertimbangan atas keberagaman masyarakat
Sultra yang tersebar di dua wilayah berbeda dengan etnis yang berbeda pula
menjadikan perlunya meninjau kembali keberagaman masyarakat tersebut sebagai
pemilik suara. Berikut penuturan KSRN, informan dari kubu NUSA: “…memang banyak
teori yang mengatakan basis kekerabatan dan semacamnya berperan dalam peroleh
suara, tapi kasus pilgub Sultra ada keunikan. Semua kubu terdapat figur daratan
jadi tidak mudah meperoleh suara dari masyarakat daratan, kalau tidak
dimobilisasi dengan baik. Selain itu, pemilih dari wilayah kepulauan tidak
sedikit jumlahnya, jadi harus menyusun strategi politik yang mampu mewadahi
semua kepentingan masyarakat baik daratan maupun kepulauan”.
Dalam proses pemilihan,
masyarakat memiliki beragam faktor yang akan mendorong masyarakat untuk
menentukan pilihannya. Konsep faktor rasional versus emosional Amin (2005) atau
faktor ikatan solidaritas tradisional Soetarto dan Shohibuddin (2004) merupakan
beragam faktor yang menjadi bahan petimbangan masyarakat dalam memilih.
Faktor-faktor rasional pemilih meliputi kemampuan intelektual,
wawasan,
penguasaan, pengalaman pribadi, program kerja, visi dan misi.
Secara
kontekstual, dalam proses pemilihan Gubernur, beragam faktor ini
menjadi
landasan acuan menyusun aksi-aksi politik para elit politik.
Konteks pemilihan
kepala daerah Sultra memperlihatkan kecenderungan faktor rasional
pemilih
dalam menyusun program kerja dan visi misi yang ditawarkan kepada
masyarakat.
69
Selain itu, kemampuan, pengalaman serta wawasan yang dimiliki para
elit
menjadi tawaran menarik yang diberikan. Para elit politik
meyodorkan
pengalaman-pengalaman pribadi dalam memimpin organisasi, pekerjaan
yang
sebelumnya digeluti, pengalaman pendidikan atau bahkan menyodorkan
pengalaman memimpin seminar-seminar tertentu. Visi dan misi yang
ditawarkan
juga meliputi isu-isu yang strategis menjadi kebutuhan masyarakat.
Hal menarik yang terjadi dalam konteks pemilihan Gubernur Sultra
adalah
menggunakan faktor-faktor emosional pemilih dengan bentuk-bentuk
rasional.
Hal ini terlihat pada penggunaan media kelompok pengajian
masyarakat sebagai
wadah pemberian bantuan atau santunan. Secara emosional, wadah
kelompok
pengajian merupakan satu bagian religiusitas masyarakat dimana
wadah ini
membangun keterikatan dan kedekatan terhadap tuhan dan mengandung
beragam
nilai dalam menjalankan kerukunan sosial. Di lain sisi, pemberian
bantuan melalui
wadah ini memberikan pesan rasionalitas dimana masyarakat akan
selalu
mengingat berbagai bentuk bantuan yang diberikan dan menimbang
ingatan akan
bantuan tersebut dalam menetukan pilihannya. Hal ini terkait
dengan adanya
rasionalitas pemilih menganai keuntungan yang didapatkan dalam
menetukan
pilihan.
Gambaran lain yang menggambarkan penyatuan dua faktor pilihan
masyarakat, faktor rasionalitas dan emosional, terlihat dalam
upaya kubu NUSA
sebagai fokus kajian dalam membangun pesan terhadap pemilih
mengenai
keunggulan-keunggulan rasionalitasnya. Kubu NUSA melalui tayangan
adzan
magrib yang ditayangkan setiap menjelang berbuka puasa dapat
dikaji sebagai
sebuah upaya membangun figur pemberi perhatian masyarakat,
mengerti
kebutuhan masyarakat dan memiliki beragam kemampuan dan keahlian
seperti
mampu menjadi pemimpin dan pembawa pesan keagamaan dimana dalam
tayangan ditunjukkan dengan kemampaun memberikan ceramah dan
siraman
rohani.
2.
Faktor emosional
Faktor-faktor emosional masyarakat
seperti kedekatan ikatan solidaritas
lokal, tempat tinggal, kelompok etnis, figur
ketokohan, keturunan pasa
calon, latar belakang organisasi keagamaan serta garis ideologis
juga menjadi
landasan para elit politik dalam melakukan beragam aksi strategis.
Baron dan
Byrne (2004) menyatakan bahwa emosi memiliki pengaruh langsung
maupun tak
langsung terhadap ketertarikan. Lebih lanjut dijelaskan keduanya,
seseorang akan
menyukai orang-orang yang membuat orang merasa baik dan tidak
menyukai
orang-orang yang membuat seseorang merasa buruk
Dalam konteks pemiliahan Gubernur Sultra, NUSA melakukan
pendekatan
kepada masyarakat sebagai kelompok pemilih dari sudut kedekatan
emosionalitas
melalui beragam tindakan seperti menghadiri beragam acara-acara
kelompok
masyarakat, membangun kedekatan terhadap kelompok etnis pemuda,
serta
membangun figur ketokohan dengan beragam gambar yang memberikan
pesan
emosional calon “pemimpin gaul” tetapi berwibawa, sensitif
terhadap kebutuhan
masyarakat dan bergaul dengan semua lapisan masyarakat.
6.2
Optimalisasi Beragam Aspek
Strategis Pilkada
Kekhasan perilaku politik dari kubu NUSA dengan Nur Alam sebagai
figur penggeraknya adalah kemampuan mengoptimalisasikan beragam
aspek
strategis untuk mendapatkan kursi pemimpin masyarakat Sultra.
Beragam latar
belakang masyarakat sebagai pemilih menjadi pertimbangan atas
optimalisasi
aspek-aspek potensial pilkada. Selain itu, pertimbangan atas sisi
rasionalitas serta
emosionalitas masyarakat juga menjadi bagian penting dalam
optimalisasi aspek-
aspek strategis. Aspek formal pilkada yaitu partai politik menjadi
lebih penting
peranannya ketika sistem pemilihan langsung tidak mengakomodir
calon
perseorangan. Sadar akan pentingnya peranan partai politik dalam
pilkada Sultra,
Nur Alam sebagai figur politik berupaya masuk dan mendominasi
kontrol internal
partai. Oleh karenanya, kinerja partai politik dengan jejaring
keanggotaannya
menjadi sumber kekuatan politik penting dalam pilgub Sultra 2007
lalu bagi kubu
NUSA.
6.2.1
Pemanfaatan Kelompok
Masyarakat
71
Dalam pola pemilihan umum dimana suara masyarakat menjadi kunci
kemenangan pasangan yang maju dalam proses pilkada, setiap aktor
politik
menyadari pentingnya manarik minat masyarakat agar ikut memilih
pasangan
tertentu. Meskipun peran dari tim sukses juga menjadi sangat
penting dimana
kerja tim harus selalu memikirkan strategi yang dibangun dan
digunakan untuk
menarik massa, namun pada akhirnya suara massa (rakyat) juga lah
yang mampu
membawa kemenangan. Kelompok masyarakat adalah salah satu ruang
politik
penting dalam pilkada untuk mendekatkan figur pemimpin dengan
masyarakat
sebagai aktor pemilih.
Pada pemilihan kepala daerah yang berlangsung pada tahun 2007
lalu,
disadari para aktor politik suara rakyat memegang peranan paling
kunci dalam
pola pemilihan langsung oleh rakyat. Oleh karenanya menarik
khalayak atau suara
rakyat sebanyak-banyaknya merupakan keharusan mutlak untuk
memenangkan
kursi kepemimpinan. Berbagai jalan diupayakan agar khalayak mampu
tertarik
kepada pasangan calon yang diusung, salah satunya adalah
penggunaan
kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat karena diyakini
kelompok
masyarakat ini mampu menjadi jalan dan sekaligus media komunikasi
politik
berbagai kepentingan politik masa pemilihan.
Berbagai organisasi dan kelompok perhimpinan masyarakat ada di
tengah-
tengah masyarakat namun demikian dirasa tidak semua dari
perhimpunan tersebut
efektif dijadikan media sekaligus alat untuk informasi politik.
Kasus dari kubu
NUSA yang mengikuti bursa pemilihan kepala daerah memilih dua
bentuk
kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap paling efektif menjadi
media
komunikasi politik dalam masyarakat. Kelompok massa tersebut dalam
kelompok-kelompok pengajian yang ada hampir di seluruh daerah
Sulawesi
Tenggara dan kedua adalah perhimpunan pemuda Tolaki atau kelompok
Tamalaki
yang dianggap akan mampu menjadi media komunikasi politik bagi
pemuda-
pemuda beretnis Tolaki yang suaranya juga memegang peranan
penting. Berikut
kutipan informasi yang diberikan oleh informan KSRN:
“Dalam sistem pemilihan dimana pemimpin dipilih langsung oleh
rakyat,
kunci utama adalah suara dari rakyat. Untuk masuk dalam kehidupan
masyarakat kami harus melawati pintu-pintu sebagai jalan pembuka,
dan
72
kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai wadah penampung
aspirasi maupun tempat berkumpulnya masyarakat salah satu pintu
yang
efektif untuk masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Sulawesi
Tenggara
bukan daerah dengan satu sistem nilai yang sama, tetapi bahkan
setiap
wilayah bahkan kecamatan berbeda memiliki ciri nilai budaya
berbeda.
Oleh karenanya harus banyak metode utnuk membuka pintu masyarakat
yang berbeda-beda itu. Pertama kami memilih kelompok pengajian.
Mengapa kelompok pengajian?. Kelompok ini kami pilih atas dasar
keberagaman nilai budaya dan berarti keberagaman pola fikir pula
di
masyarakat. Menurut hemat kami di setiap masyarakat baik etnis
manapun
pasti memiliki kelompok pengajian jika mayoritas masyarakat
tersebut
adalam masyarakat Muslim, dan masyarakat Sulawesi Tenggara memang
mayoritas beragama Muslim. Oleh karenanya kelompok pengajian
menjadi
pintu yang paling mudah untuk memasuki masyarakat dari etnis
manapun.
Kedua, kelompok Tamalaki. Kelompok ini kami anggap sebagai wadah
para pemuda etnis Tolaki yang paling memiliki ruang politik besar.
Anggotanya kebanyakan adalah para mahasiswa beretnis Tolaki yang
memiliki pemikiran-pemikiran progresif (Informan Bpk KSRN).
Keterangan pemilihan kelompok masyarakat sebagai pintu masuk dalam
kehidupan masyarakat yang dikemukakan informan kunci di atas
sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh Effendi dalam Sitepu (2005)21 bahwa
banyak aspek
yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik baik dari
aspek formal
maupun aspek informal. Dalam kasus kubu NUSA aspek non-formal
berupa
kelompok pengajian digunakan menjadi salah satu penghimpunan
kekuatan
politik dalam hal ini massa pemilihan Gubernur.
Kelompok pengajian dalam pemilihan Gubernur 2007 dianggap sangat
strategis karena merupakan kelompok masyarakat yang paling banyak
jumlahnya
dan hampir ada di seluruh wilayah masyarakat manapun dan beretnis
apapun.
Berikut informasi yang diberikan informan KSRN:
“Sebenarnya untuk bersilaturahmi kepada kelompok masyarakat
seperti
kelompok-kelompok pengajian yang ada dalam masyarakat bukan hanya
ketika proses pilkada berlangsung, namun jauh sebelum itu kami
sudah
mulai mengadakan pertemuan-pertemuan, diundang sebagai pembicara
ataupun memberikan sumbangan alakadarnya dengan mengusung nama
partai ataupun perorangan (pasangan calon Gubernur) Informan: KSRN.”
21
Lihat juga bagian Pendekatan Perilaku
Politik
73
Penggunaan kelompok masyarakat yang lain yaitu kelompok pemuda
Tolaki atau Tamalaki. Kelompok ini dianggap paling efektif untuk
menggalang
massa yang berasal dari kalangan pemuda. Kalangan pemuda merupakan
salah
satu golongan massa yang mampu memberikan sumbangan suara dalam
pemilihan
pemilu. Di samping itu, dalam kampanye politik para massa dari
golongan
pemuda paling mudah untuk ikut berpartisipasi. Oleh karenanya
kelompok
pemuda menjadi penting peranannya dalam proses pemilihan kepala
daerah.
Saat ini tidak dapat dipungkiri suara pemuda menjadi lebih sering
terdengan dalam berbagai kesempatan dan menyuarakan
masalah-masalah
tertentu. Golongan pemuda dianggap golongan yang paling progresif
dan sensitif
terhadap masalah-masalah yang kontraversial. Oleh karenanya
menggalang
golongan pemuda selain dapat menambah kekuatan massa, juga dianggap
untuk
dapat lebih dekat dari sosok progresif sekaligus menjauhkan dari
kecaman-
kecaman politik yang datang dari golongan pemuda itu sendiri.
Tamalaki merupakan perkumpulan pemuda dan mahasiswa beretnis
Tolaki. Perkumpulan ini sengaja dibentuk oleh para mahasiswa
Tolaki untuk
mempersatukan mereka dilingkungan wilayah kampus karena kebanyakan
dari
mereka datang dari daerah luar seperti Unaaha, Wawotobi, Kolaka
dan Lasolo.
Awalnya, perkumpulan ini lebih mengutamakan kegiatan olahraga
seperti
mengikuti pertandingan-pertandingan yang diadakan di Sulawesi
Tenggara.
Namun saat ini, perkumpulan ini menjadi semakin berkembang tidak
saja dalam
lingkup olah raga tetapi juga banyak menyoroti kinerja
pemerintahan ataupun
pihak Universitas melalui kegiatan demo dan orasi. Seperti
misalnya ketika
penelitian ini sedang berlangsung, Tamalaki sedang berorasi di
gedung DPRD
Sultra mengkritik kinerja DPRD. Informan Bpk. Hrm (pegawai DPRD
Sultra)
menyatakan bahwa orasi tersebut sudah berlangsung selama 2 hari.
Dan
mengganggu kinerja anggota dan pegawai DPRD Sultra.
Kelompok pemuda dan mahasiswa Tolaki ini terkadang terlibat
pertentangan dengan kelompok pemuda yang lain seperti kelompok
pemuda dan
mahasiswa “pulau” sebutan untuk pemuda dari wilayah kepulauan,
dimana
kelompok mahasiswa pulau ini mempersatukan para mahasiswa yang
berasal dari
74
wilayah kepulauan Sultra seperti Muna dan Buton. Informan Jn
(mahasiswa asal
Muna) menuturkan:
“sudah sering terjadi perkelahian antara anak Tamalaki dengan anak
Pulau.
Tidak jarang perkelahian ini memakan korban. Kadang karena masalah
kecil langsung menjadi masalah besar. Mereka berani karena masing-
masing punya kelompok. Perkelahiannya juga tidak main-main, mereka
memakai senjata tajam seperti panah yang dibuat sendiri, linggis,
samurai
dan senjata tajam lainnya”.
Selain itu, informan ibu Rml (masyarakat kampus) menyetakan bahwa
adu
otot bahkan culik-menculik sudah sering terjadi di wilayah kampus
melibatkan
antara kelompok Tamalaki dengan kelompok anak Pulau.
“…sekarang kita tidak pernah tenang! Sedikit-sedikit ribut lagi,
baru
mereka bawa samurai, celurit, parang panjang, kita takut jadi lari
masuk
rumah saja. Kemarin ada lagi korban baru dibakar asramanya.
Jangankan
asrama orang, asrama saya juga mereka rusak padahal saya sudah
tidak
terima anak Tolaki karena jadi sasaran anak Pulau”.
Karena gerakan kelompok Tamalaki ini pun, maka pasangan NUSA
menurut informan ibu Rml menggunakan kelompok ini sebagai alat
berpolitiknya.
Informan menjelaskan bahwa ketika markas Tamalaki masih berada di
belakang
rumahnya, ia sering melihat N.A datang dan memberi bantuan dana
kepada
kelompok tersebut.
“saya sering melihat N.A datang ke markas Tamalaki. Waktu itu
beliau
masih belum menjadi Gubernur, masih dalam proses pencalonan. Dari
cerita-cerita anak kos, N.A itu sering memberi bantuan dana kepada
kelompok Tamalaki”
Informan tim sukses kubu NUSA membenarkan penggunaan kelompok
Tamalaki dalam proses pilkada. Bpk. Ksrn menyatakan bahwa Tamalaki
digunakan untuk menghimpun para pemuda karena pemuda dianggap juga
memegang suara penting dalam pemilihan.
6.2.2
Media Massa
Media massa saat ini memiliki peranan yang sangat penting
kaitannya
dalam menyampaikan informasi kepada khalayak yang dituju. Dalam
masa
pemilihan Gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat
peranan media
75
massa juga menjadi sangat penting bahkan masyarakat luas terkadang
tidak
mengetahui latar belakang calon pemimpin tetapi hanya mengetahui
rupa ataupun
wajahnya dari surat kabar, baliho yang terpajang di berbagai
lokasi strategis,
spanduk-spanduk ataupun iklan televisi.
Dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2007 setiap pasangan
calon
menggunakan media massa sebagai salah satu ruang berpolitiknya.
Hal ini
dikarenakan media massa dianggap ruang yang efektif selain itu
mudah dijumpai
oleh masyarakat sehingga pesan politik yang dibawa pun akan mudah
sampai
kepada sasaran dalam hal ini masyarakat sebagai pemilih.
Media massa sebagai media atau ruang untuk berpolitik
bermacam-macam
jenisnya, namun dalam proses pilkada media massa yang biasanya
dipilih adalah
surat kabar, televisi, spanduk dan baliho-baliho serta radio.
Secara umum media
massa yang paling mudah dijumpai dalam memuat berita ataupun
terkait dengan
proses pilkada adalah media surat kabar, televisi dan
baliho-baliho. Pada masa
sebelum, sedang dan sesudah pemilihan media surat kabar selalu
memuat berita-
berita seputar pilkada, televisi lokal maupun nasional menayangkan
iklan yang
memuat berita-berita politik, sosok pasangan calon, visi misi yang
di bawa serta
kegiatan-kegiatan sosial pasangan calon kepala daerah dalam
lingkungan
masyarakat.
Untuk kubu NUSA, tercatat lebih banyak menggunakan media massa
sebagai salah satu ruang berpolitiknya. Untuk media televisi, kubu
ini sampai
menggunakan saluran televisi nasional sebagai saluran yang
menayangkan pesan
pilkadanya dimana saluran nasional dianggap saluran yang cukup
komersial.
Sedanglan kubu atau pasangan yang lain hanya menggunakan saluran
lokal yang
ada yaitu saluran Televisi Kendari atau TV Kendari dan saluran
TVRI stasiun
Kendari atau TVRI Lokal. Berikut informasi dari informan KSRN:
“…memang saluran TV nasional lebih komersil dalam hal ini harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menayangkan
iklan
pilkada, tetapi dalam pemikiran efisien dan efektifitas, saluran
TV nasional
paling banyak ditonton oleh seluruh masyarakat tidak saja
masyarakat dari
Sulawesi Tenggara tetapi masyarakat Indonesia secara umum dari
wilayah
lain pun dapat menyaksikan iklan dan pesan-pesan pilkada yang kami
ingin sampaikan, apalagi jika iklan pilkada tersebut ditayangkan
pada jam-
76
jam tertentu dimana masyarakat paling banyak beraktivitas di dalam
rumah da menyaksikan TV seperti jam-jam tertentu yang selalu
menayangkan sinetron yang disukai ibu-ibu (KSRN, Informan dari
kubu
NUSA)”.
Untuk saluran televisi lokal, para kubu ataupun pasangan calon
kepala
daerah berlomba-lomba menayangkan dirinya meskipun hanya berupa
ucapan
selamat berbuka puasa saja22. Pesan pilkada yang ditayangkan pada
jam berbuka
puasa ataupun pesan berbuka yang dilakukan oleh masing-masing
calon kepala
daerah sebagai ajang pengenalan diri terhadap khalayak merupakan
jam atau
waktu yang paling tepat mengingat pada waktu berbuka masyarakat
paling banyak
melihat tayangan televisi lokal untuk menanti bedug dan adzan
magrib yang
menandai berbukanya masyarakat setempat.
Khusus untuk kubu NUSA, penggunaan media televisi lokal menjadi
lebih
efektif karena saluran televisi lokal yang menayangkan bedug dan
adzan magrib
berisi liputan kegiatan sosial yang dilakukan calon Gubernur di
berbagai daerah
dan wilayah di Sulawesi Tenggara. Hal ini semakin menambah poin
kedekatan
masyarakat dibanding dengan calon kepala daerah yang lain.
“…memang kami sengaja merekam seluruh kegiatan-kegiatan sosial dan
kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh calon Gubernur ke dalam
tayangan bedug dan adzan magrib untuk semakin mendekatkan
masyarakat dengan sosok calon Gubernur yang kami usung selain itu
juga
kami ingin menambah simpatik dari berbagai kegiatan sosial dan
kemanusiaan tersebut (KSRN)”.
Penggunaan media komuikasi lainnya seperti baliho-baliho yang
dipajang
di berbagai lokasi strategis juga dilakukan oleh masing-masing
pasangan calon.
Namun dari empat pasangan calon kepala daerah, kubu NUSA merupakan
calon
yang paling mudah dijumpai baliho-baliho yang menggambarkan
sosoknya
dengan bermacam-macam karakter yang digambarkan.
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan yang merupakan
tim
sukses dari kubu NUSA menyatakan bahwa penggunaan media baliho
juga dinilai
22
|
77
efektif karena dapat disaksikan oleh masyarakat yang selalu
menggunakan sarana
umum seperti jalan raya. Selain itu, penggunaan berbagai karakter
tertentu
dikatakan untuk semakin menambah minat masyarakat untuk mengenal
sosok
kepala daerah yang di usung sehingga memori ataupun ingtan
masyarakat
tergadap sosok kepala daerah semakin kuat.
Penempatan baliho-baliho yang memuat gambar ataupun sosok kepala
daerah juga menjadi sangat penting. Terdapat beberapa lokasi
strategis tertentu
yang selalu digunakan untuk menempatkan gambar-gambar calon kepala
daerah
tersebut. Lokasi yang dianggap paling strategis untuk penempatan
baliho adalah
lokasi-lokasi yang paling sering dilalui oleh masyarakat.
6.2.3
Optimalisasi Peranan Partai
Politik
Partai politik merupakan wadah politik dalam sistem politik
Indonesia.
Partai politik secara formal dapat dilihat pada saat sistem
kepartaian didasarkan
pada Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang menyebutkan bahwa
atas usul
Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kepada
pemerintah,
agar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk
mendirikan
partai-partai politik (Sitepu, 2005). Masuknya partai-partai politik
di parlemen
menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat dicerminkan dari partisipasi
politik oleh
partai-partai politik dalam parlemen itu yang dinilai sangat
tinggi.
Namun demikian, partisipasi rakyat dalam partai politik sempat
melemah
terutama pada konfigurasi politik Orde Baru. Sistem politik Orde
Baru yang
bersifat otoriter-birokratik (OB) menghasilkan kebijakan berkaitan
dengan
kepartaian yang menciptakan sistem kepartaian ”Hegemonis Party
Sistem” yang
ditujukan pada Golkar.
UU No.32 Tahun 2004 Pasal 59 kembali memberikan kewenangan kepada
partai politik untuk menentukan bakal calon yang akan duduk di
kursi parlemen,
begitu pun keputusan calon yang akan menjadi figur pemimpin. Oleh
karenanya
tidak mengherankan para figur yang menginginkan kursi kepemimpinan
mengejar
dukungan dari partai politik. Seperti yang dilakukan oleh para
figur yang
78
mencalonkan diri sebagai bakal calon Gubernur Sultra namun tidak
memiliki
partai politik. Di samping itu, figur yang memiliki partai juga
tetap melakukan hal
serupa.
Melihat pentingnya peran partai politik dalam menyediakan kursi
calon
kepala daerah sekaligus mendukung kemengan melalui kerja sama
anggota partai,
Nur Alam sebagai figur daratan memasuki PAN sebagai salah satu
partai besar di
Sultra dan memegang dominasi penting dalam internal PAN.
Kubu NUSA yang ”digawangi” oleh Nur Alam, dalam pilkada Sultra
mendapat dukungan dari dua partai yaitu PAN yang merupakan partai
yang
diketuai oleh Nur Alam sendiri serta PBR. Salah satu bentuk
kontrol Nur Alam
sebagai ketua PAN adalah menginstruksi anggita PAN untuk
mensukseskan
pilkada 2007. Menghadapi suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur
Sultra, Nur
Alam sebagai ketua PAN yang terpilih secara aklamasi untuk
memimpin partai
selama periode 2005-2010 menghimbau jajaran pengurus PAN wilayah,
kabupaten/kota, kecamatan sampai tingkat desa agar meningkatkan
konsolidasi
menghadapi pertarungan politik menuju pilkada 2007. Ketua PAN yang
diemban
Nur Alam ini menjadi modal dasar untuk menuju kursi Gubernur di
bawah
payung partai PAN. Selain kedudukan sebagai ketua PAN, soliditas
partai juga
menjadi aspek penting mendukung kemenangan dalam suksesi Gubernur.
Ketua
PAN kebupaten Bombana Masyurah Ladami (dikutip dari Suara Karya, 5
Desember 2005) menyatakan:
”Meningkat atau tidaknya perolehan suara dari masyarakat sangat
ditentukan kerja keras pengurus dan kader partai. Tanggung jawab
pengurus partai dan kader yang tersebar di seluruh wilayah Sultra
sangat
diharapkan, bukan hanya peran ketua partai”.
Soliditas partai menjadi penting sebagai penentu keberhasilan
figur yang
dicalonkan. Hal ini terlihat ketika jajaran PAN memberikan jalan
bagi Nur Alam
untuk maju sebagai calon tunggal partai PAN menjadi calon Gubernur
Sultra
periode 2008-2013. Arbab Paproeka sebagai salah satu petinggi PAN
lebih
memilih menjadi Caleg DPR-RI di Jakarta agar suara PAN tidak
terpecah.
Berbeda dengan partai lain, misalnya partai GOLKAR. Calon Gubernur
yang
merupakan kader GOLKAR dalam pilgub Sultra ada dua figur yaitu Ali
Mazi dan
79
Mashur Massie Abunawas. Tidak hanya dalam pilgub, tingkat
soliditas rendah
partai Golkar diperlihatkan dengan pertarungan jauh sebelum
digelarnya suksesi
calon Gubernur antara Ali Mazi dan Ridwan Bae yang juga menginkan
maju
dalam pigub Sultra 2007.
Pernyataan-pernyataan Ridwan seputar kader GOLKAR yang maju dalam
bursa pencalonan dari pintu GOLKAR, seperti keinginan bertarung
melawan Ali
Mazi, meskipun dengan membungkus ”mekanisme pemilihan calon
Gubernur
secara terbuka dan demokratis” di tubuh GOLKAR, dapat dilihat
sebagai tingkat
soliditas internal partai GOLKAR yang buruk, sebab sebelum
pernyataan tersebut
dikeluarkan telah ada keputusan melalui Rakerda Muna yang
menetapkan bahwa
Ali Mazi sebagai calon tunggal.
Soliditas pengurus partai dalam hal resuffle dan
penggantian anggota juga
menjadi penting dalam menghadapi pertarungan politik pilkada
Sultra. Partai
GOLKAR dengan sistem ”bongkar-pasang” anggotanya menjadikan
tingkat
soliditas partai yang rendah karena sistem pergantian ini diwarnai
dengan
kekecewaan anggota yang terlepas dari jabatan pentngnya dalam
partai. Berbeda
dengan GOLKAR, PAN lebih selektif dalam sistem pergantian anggota.
Terdapat beberapa alasan perpindahan dan proses resuffle yang
terjadi
dalam tubuh internal partai. Selain karena tawaran memperoleh
jabatan baru
dengan harapan politik yang lebih baik dan lebih mudah, trend
pembelotan atau
migrasi (perpindahan) pengurus dari partai lama ke partai yang
baru, umumnya
juga disebabkan: (1) pengurus partai tersebut mengalami situasi
yang tidak
menyenangkan di lingkungan internal partai lama asalnya, atau (2)
pengurus
partai tersebut merasa tidak dapat survive atau tidak dapat
bersaing dengan
pengurus lain dalam melakukan peran-peran politik internal maupun
eksternal di
partai asalnya.
Di pihak lain, proses rekruitment pengurus atau anggota di
kalangan partai
baru, cenderung bersifat tidak selektif. Selain karena semakin
sulitnya
mendapatkan calon-calon pengurus/anggota baru yang berkualitas,
fenomena
rekruitmen pengurus yang tidak selektif juga karena partai-partai
baru tersebut
lebih memfokuskan diri pada upaya melengkapi prasyarat
administrasi pengurus
80
guna meloloskan diri dalam tahap verifikasi syarat administrasi
partai baru.
Dengan kata lain, upaya meloloskan diri menjadi organisasi peserta
pemilu (OPP),
menjadi jauh lebih penting bagi parpol-parpol baru ketimbang upaya
memperoleh
komposisi pengurus/anggota yang lebih berkualitas.
Sebagaimana terjadi di daerah lainnya di Indonesia, ramainya
trend
membentuk dan/atau menjadi pengurus partai politik baru di daerah
ini,
merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang membawa beberapa
dampak
positif maupun negatif bagi proses pendidikan politik rakyat.
Dampak positif dari
trend tersebut, diantaranya adalah23 : (1) tingkat partisipasi
politik masyarakat
semakin tinggi dengan terbukanya peluang yang cukup besar bagi
masyarakat
banyak untuk ikut mengaktualisikan peran-peran politiknya lewat
partai politik,
(2) intensitas dan frekwensi perhimpitan kepentingan antar
kelompok di tataran
supra-struktur politik yang biasanya cukup meresahkan banyak
pihak, dapat
Komentar
Posting Komentar