POLITIK SULAWESI TENGGARA

Kiprah Politik KKSS Di Sultra


KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) adalah salah satu organisasi paguyuban besar yang hadir dan menampilkan corak cukup signifikan dalam dinamika politik lokal di Sulawesi Tenggara, terutama dalam satu dekade terakhir. Secara normatif, sebagaimana organisasi paguyuban lainnya di Sultra, KKSS bukanlah sebuah lembaga politik atau sebuah organisasi dengan misi politik tertentu. Identik dengan namanya, KKSS lebih sebagai sebuah “perhimpunan” atau perkumpulan sosial yang berupaya “merukunkan” rumpun-rumpun keluarga besar masyarakat Bugis-Makassar asal Sulawesi Selatan yang tersebar di berbagai daerah di tanah air, termasuk di Sulawesi Tenggara.

Kiprah politik KKSS di Sulawesi Tenggara, menurut hemat saya, lahir pertama kali dari kesadaran politik sebagian elit atau pemuka masyarakat Bugis-Makassar yang berupaya memberi “reaksi” terhadap munculnya benih-benih politik-primordial di kalangan elit politik dan pemuka masyarakat lokal di daerah ini. “Reaksi” demikian terutama exist pada dua konteks sosial, yakni : (1) pada konteks dimana stigmatisasi politik “bukan putra daerah” dalam berbagai evet politik lokal, termasuk dalam proses pengangkatan pejabat birokrasi, mulai dilekatkan kepada para elit politik dan elit birokrat Bugis Makassar, (2) pada konteks dimana para elit politik dan elit birokrat lokal mulai membangun gerbong-gerbong politik sektarian berdasarkan kesamaan identitas etnik dan daerah asal, seperti gerbong Tolaki, gerbong Buton dan gerbong Muna.

Stigmatisasi “bukan putra daerah” yang dilekatkan kepada para elit politik dan elit birokrat Bugis Makassar, cukup terasa pada dinamika politik di tingkat provinsi dan di daerah-daerah kabupaten/kota dengan komposisi masyarakat lokal yang relatif lebih homogen, seperti di Buton, Konawe, Muna, Bau-Bau dan Wakatobi. Di tingkat provinsi, stigma “bukan putra daerah” antara lain terlihat pada dinamika penyusunan pejabat daerah di masa pemerintahan Alala, Laode Kaimoedin dan Ali Mazi. Beberapa pejabat eselon II asal Sulawesi Selatan di masa itu sering dilihat dari kacamata politik-primordial sebagai warga pendatang yang “seolah-olah” telah menganeksasi hak penduduk asli untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di lembaga pemerintahan daerah.

Pandangan serupa yang cukup kontras antara lain terjadi pada diri “Anwar Adnan Saleh” dalam moment penggodokan calon gubernur Sultra pasca Laode Kaimoeddin melalui pintu golkar di tahun 2002 lalu. Mobilitas politik pengusaha berlatarbelakang etnik Mandar itu berupaya dihambat oleh rival politiknya di tubuh golkar sendiri dengan memberinya stigma sebagai ”bukan putra daerah asli Sultra”. Stigma ini berupaya dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah melembaga dan menjadi argumen organisatoris untuk menyingkirkan Anwar Adnan Saleh dari bursa pencalonan gubernur Sultra di fraksi golkar.

Pada konteks dimana masing-masing elit politik dan birokrat lokal yang mengklaim diri sebagai “putra daerah Sultra” mulai membangun gerbong politik-primordial secara sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain, reaksi sebagian elit politik dan birokrat Bugis Makassar pun muncul dalam wujud spirit dan upaya serupa untuk membangun kesadaran emosional dan kesatuan identitas etnik yang sama. Spirit dan upaya demikian juga dipicu oleh kalkulasi kepentingan politik se pihak di lingkungan elit KKSS sendiri yang melihat besarnya populasi warga Sulsel di Sultra sebagai kendaraan politik yang cukup potensial untuk digiring ke front politik praktis. Meskipun pada beberapa konteks politik ternyata “keliru”[1], namun kalkulasi politik demikian justru sering digunakan oleh beberapa elit pimpinan KKSS untuk mengambil inisiatif bertarung di front politik praktis, seperti yang cukup terkesan menjadi rujukan kalkulasi politik Ir. Syamsul Bahri (ketua KKSS Sultra) ketika bertarung sebagai calon Bupati di Bombana, Drs.H. Andi Kaharuddin (dewan penasihat KKSS Sultra) sewaktu hendak bertarung sebagai calon walikota Kendari, Ir. Takdir.Amp (ketua KKSS Konawe) ketika bertarung sebagai calon wakil bupati di Konawe dan lain-lain.
Kekeliruan kalkulasi politik primordial di kalangan sebagian elit pimpinan KKSS di Sulawesi Tenggara, terlihat jelas pada beberapa momentum pilkada langsung di daerah ini dimana warga Bugis Makassar relatif “tidak pernah solid” mendukung calon kepala daerah tertentu, baik yang berasal dari kalangan internal KKSS sendiri (yakni yang berlatar belakang etnik Bugis-Makassar), maupun dari kalangan eksternal (non Bugis Makassar) yang oleh para elit pimpinan KKSS direkomendasikan untuk dipilih.
Fenomena di atas disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 
(1) tidak seperti di daerah lainnya, kebanyakan warga Bugis-Makassar tidak lagi menganggap Sulawesi Tenggara sebagai daerah rantauan atau sebagai ranah politik negeri seberang. Daerah ini, setidaknya khusus bagi warga Bugis Makassar dengan silsilah genealogis yang telah exit di Sultra sejak tahun 1700-an, tidak lagi merasa diri sebagai kelompok orang-orang pendatang, sehingga isu-isu kesadaran kelas atau sentimen emosional entik, tidak lagi peka mempengaruhi pilihan-pilihan politik mereka, 
(2) proses pembauran (asimiliasi) sosial sudah berlangsung cukup lama pada spektrum sosial yang terus meluas dan merata, baik melalui perkawinan silang (amalgamasi), maupun melalui hubungan-hubungan sosial-ekonomi, termasuk hubungan dagang, hubungan kekerabatan luas (extended family) atau hubungan kerja lainnya, 
(3) warga Bugis Makassar di Sultra relatif tidak menganggap “kekuasaan politik formal” sebagai satu-satunya primat sumberdaya ekonomi dan sosial yang signifikan bagi usaha mereka untuk bisa survive. Sebaliknya, mereka, warga Bugis Makassar itu, memiliki cukup banyak pilihan untuk mengakses sumberdaya sosial-ekonomi secara layak, tanpa harus terfokus pada koridor politik, seperti pilihan untuk mengakses sumberdaya ekonomi di bidang perdagangan dan pertanian, 
(4) terdapat faktor “integrative” lain yang menjembatani perbedaan socio-kultural dalam dinamika interaksi-sosial antara warga Bugis Makassar dengan kelompok-kelompok etnik lain yang termasuk dalam kategori masyarakat pribumi. Faktor integrative lain dimaksud, diantaranya adalah faktor kesamaan agama (Islam), faktor kesamaan ciri-ciri antropologis, faktor kesamaan identitas geo-politik nasional sebagai bagian dari masyarakat Indonesia bagian timur, dan lain-lain.

Selain disebabkan oleh beberapa faktor di atas, fenomena tidak solidnya warga Bugis-Makassar dalam front-front politik praktis, juga disebabkan karena adanya faktor diferensiasi kultural dan disintegrasi kepentingan politik di tubuh mereka sendiri, seperti : 
(1) adanya kelompok-kelompok sosial primer yang dibentuk atas dasar kesamaan identitas sub-etnik dan kampung asal, seperti kelompok Turatea (Makassar, Gowa, Jeneponto, Takalar dan Bantaeng), kelompok Bosowa (Bone, Soppeng Wajo), kelompok Enrekang, kelompok Luwu dan Tator dan lain-lain, 
(2) adanya hubungan-hubungan taktis-politis antara kelompok-kelompok sosial primer di tubuh internal mereka, dengan gerbong-gerbong politik di lingkungan eksternal, seperti antara Kerukunan Keluarga Gowa/Jeneponto dengan pasangan Harum (Ir. Asrun dan Musaddar Mappasomba[2]), antara Kerukunan Keluarga Enrekang dengan pasangan Bayer (Bachrumin.AK dengan Yani Kasim Marewa[3]), dan bentuk-bentuk hubungan taktis lainnya pada event pilkada walikota Kendari yang lalu.
Kiprah politik institusional KKSS menjadi semakin ”kabur” pada daerah-daerah dengan jumlah populasi Bugis Makassar yang dominan, seperti di Bombana, Kolaka Utara dan Kolaka. Pada tiga daerah ini, peran-peran politik KKSS secara akumulatif diambil-alih oleh peran-peran personal dari para elit politik, birokrat dan elit masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri. Sehingga kiprah KKSS pada kondisi daerah seperti itu, tidak lebih dari sekedar wahana komunikasi sosial antar tokoh masyarakat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh LATKOM (Lembaga Adat Tolaki Konawe-Mekongga) di kota Kendari, Konawe, Konsel dan Konut, atau oleh Lembaga Adat Sarano Wolio di Buton, Bau-Bau dan Wakatobi, atau oleh Kerukunan Keluarga Muna (KKM) di Kabupaten Muna, dan lain sebagainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERDAS CERMAT DEMIANUS

Sejarah singkat Desa Lalonaha.

dampak masuknya alat pertanian canggih didesa lalonaha kecamatan wolo