Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos
yang berarti “manusia”
atau “orang”, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Definisi Antropologi menurut Koentjaraningrat,
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya
dengan mempelajari aneka warna,
bentuk fisik masyarakat
serta kebudayaan yang
dihasilkan.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional
maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos
yang berarti “manusia”
atau “orang”, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Definisi Antropologi menurut Koentjaraningrat,
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya
dengan mempelajari aneka warna,
bentuk fisik masyarakat
serta kebudayaan yang
dihasilkan.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional
maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda,
yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Antropologi Politik
Membahas pendekatan antropologi terhadap gejala-gejala politik dalam
kehidupan manusia. Pembahasan meliputi teori-teori mengenai perwujudan
politik dalam kehidupan manusia serta sistem politik pada masyarakat
sederhana dan modern. Selain itu juga membahas pendekatan antropologi
terhadap gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia, termasuk yang
tidak terkategori sebagai gejala-gejala politik yang berkaitan dengan
lembaga-lembaga politik formal/pemerintah dalam masyarakat modern.
Dengan demikian, cakupan pembahasan meliputi pula berbagai gejala
politik dan organisasi sosial dalam komuniti-komuniti masyarakat
pedesaan/non-masyarakat kompleks. Kaitan antara Ilmu Antropologi dengan
ilmu politik yaitu ilmu antropologi memberikan pengertian-pengertian dan
teori-teori tentang kedudukan serta peranan satuan-satuan sosial budaya
yang lebih kecil dan sederhana. Mula-mula Antropologi lebih banyak
memusatkan perhatian pada kehidupan masyarakat dan kebudayaan di
desa-desa dan dipedalaman. Antropologi telah pula berpengaruh dalam
bidang metodologi penelitian ilmu politik. salah satu pengaruh yang amat
berguna dan terkenal serta kini sering dipakai dalam ilmu politik ialah
metode peserta pengamat. penelitian semacam ini memksa sarjana ilmu
politik untuk meniliti gejala-gejala kehidupan sosial “dari dalam”
masyarakat yang menjadi obyek penelitiannya
Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang
berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia
sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia
lainnya.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,
karrena beberapa alasan, yaitu:
- Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
- Perilaku manusia mengaharapkan suatu penilaian dari orang lain.
- Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
- Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
Budaya atau Kebudayaan berasal dari
bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Menurut Koentjaraningrat
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Masyarakat adalah sebuah komunitas yang
interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah
masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama
dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama dan menghasilkan kebudayaan
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration”
yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai
sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda
dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana
kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan
kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2
pengertian, yaitu :
- Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
- Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Contoh pola konflik :
Konflik Etnis Pribumi Vs Tionghoa
A. Pengantar
A. Pengantar
Dikalangan warga Tionghoa beredar humor, bahwa shio (bintang) mereka
kini hanya tinggal tiga, tak lagi dua belas, yaitu tinggal kelinci
(percobaan), kambing (hitam), dan sapi (perahan). Anekdot di atas
tampaknya tidak terlalu berlebihan bila melihat bahwa mereka selalu
dipandang sebagai warga negara kelas dua di Indonesia. Etnis Tionghoa di
Indonesia adalah etnis mayoritas dari minoritas etnis pendatang lain di
Indonesia seperti Arab India, dan Eropa. Etnis yang kerap disebut
“nonpri” itu senantiasa diposisikan sebagai “mereka”, bukan “kita”.
Bahkan “mereka” yang sudah merasa benar-benar menjadi “kita”, yang tidak
sungkan lagi menyuarakan hati nurani bangsa, tak pernah sepenuhnya bisa
masuk dalam lingkaran “kita”.
Perlakuan yang diskriminatif ini tentunya memiliki akar sejarah yang
panjang. Pahit memang, mengingat sudah ribuan bahkan jutaan nyawa
melayang dari perlakuan diskriminatif ini. Hubungan yang harmonis sejak
berabad-abad dulu selalu terjaga sampai akhirnya bangsa Belanda melalaui
“Institusi Kapitalisnya” yaitu VOC melihat hubungan yang harmonis
antara pribumi dan etnis Tionghoa kelak akan mengancam niat mereka untuk
menguasai bumi rempah-rempah ini, sehingga politik pecah belah atau
segregasi pun dimainkan.
Puncak politik segregasi Belanda adalah dengan membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan besar yaitu bangsa Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (Pribumi). Yang menarik dalam klasifikasi ini adalah bahwa Belanda mengangkat diri sebagai orang Eropa yaitu sebagai wakil dari ras bule bukan sebagai Vreemde Westerlingen (Barat Asing). Orang Tionghoa disebut sebagai Vreemdelingen (orang asing), padahal sebagian besar mereka sudah turun-temurun menjadi penghuni bumi di Nusantara. Hal ini mendapat dampak yang mendalam, bagi hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa. Dari situlah bisa lihat dengan jelas bibit-bibit pertama dari paradoks Warga Negara Indonesia yang berarti orang asing.
Puncak politik segregasi Belanda adalah dengan membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan besar yaitu bangsa Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (Pribumi). Yang menarik dalam klasifikasi ini adalah bahwa Belanda mengangkat diri sebagai orang Eropa yaitu sebagai wakil dari ras bule bukan sebagai Vreemde Westerlingen (Barat Asing). Orang Tionghoa disebut sebagai Vreemdelingen (orang asing), padahal sebagian besar mereka sudah turun-temurun menjadi penghuni bumi di Nusantara. Hal ini mendapat dampak yang mendalam, bagi hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa. Dari situlah bisa lihat dengan jelas bibit-bibit pertama dari paradoks Warga Negara Indonesia yang berarti orang asing.
Dengan pembagian penduduk berdasarkan garis keturuanan ras oleh
Belanda, mengakibatkan diskriminasi bukan hanya terhadap orang pribumi
saja akan tetapi juga etnis Tionghoa. Bangsa Belanda dan Eropa secara
ekonomis dan sosial dipandang sebagai kelas paling atas, sedangkan etnis
Tionghoa berada di lapisan masyarakat kelas dua atau biasa disebut
class citizen termasuk Arab dan India (Timur Asing) dan pribumi adalah
kelas yang paling rendah atau Inlander.
Dengan pembagian kelas pada masyarakat Indonesia dan politik komunal
atau biasa dikenal politik etnis yang dimainkan oleh penguasa Belanda
melalui pencitraan negatif dan perlakuan yang dikriminatif terhadap
kiprah etnis Tionghoa, telah mengakibatkan muncul stigma buruk rakyat
Indonesia terhadap etnis Tionghoa. Praktis dari masa ke masa stigma
buruk itu selalu melekat dan memojokan etnis Tionghoa disegala bidang
kehidupan. Di tanah kelahirannya sendiri (Indonesia) etnis Tionghoa
tidak mendapatkan tempat untuk berpartisipasi diberbagai bidang
kehidupan, baik itu di bidang sosial, budaya maupun politik kecuali
bidang ekonomi.
Dengan kebijakan yang di keluarkan oleh bangsa Belanda ini hubungan harmonis yang telah terjadi berabad-abad dahulu mulai terusik. Pembagian kelas penduduk ini menyebabkan jurang pemisah hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Etnis Tionghoa di posisikan sangat terjepit di antara bangsa Eropa dan Pribumi. Karena Etnis Tionghoa ditempatkan sebagai perantara dalam perdagangan antar bangsa Eropa dan Pribumi, maka kebencian rakyat Indonesia terhadap etnis Tionghoa semakin menjadi-jadi. Stigma yang kemudian muncul di kalangan pribumi adalah bahwa etnis Tionghoa hanya mencari untung saja, pelit, tak peduli lingkungan sekitar dan sebagainya. Hal inilah yang dikemudian hari menyebabkan kerusuhan anti Tinghoa menyebar di Indonesia.
Dengan kebijakan yang di keluarkan oleh bangsa Belanda ini hubungan harmonis yang telah terjadi berabad-abad dahulu mulai terusik. Pembagian kelas penduduk ini menyebabkan jurang pemisah hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Etnis Tionghoa di posisikan sangat terjepit di antara bangsa Eropa dan Pribumi. Karena Etnis Tionghoa ditempatkan sebagai perantara dalam perdagangan antar bangsa Eropa dan Pribumi, maka kebencian rakyat Indonesia terhadap etnis Tionghoa semakin menjadi-jadi. Stigma yang kemudian muncul di kalangan pribumi adalah bahwa etnis Tionghoa hanya mencari untung saja, pelit, tak peduli lingkungan sekitar dan sebagainya. Hal inilah yang dikemudian hari menyebabkan kerusuhan anti Tinghoa menyebar di Indonesia.
Kemudian orang-orang Tionghoa “dikerangkeng” dalam sebuah pemukiman
tertentu (wijkenstelsel) yang dikenal dengan pecinaan Chines Town.
Sehingga sejak saat itu mereka terisolasi dari publik ramai. Untuk
keluar dari permukiman tersebut orang-orang Tionghoa pun harus dibekali
surat izin tertentu (passenstelsel). Bagi yang melanggar akan diadili
oleh politie roll, sebuah pengadilan tanpa hak membela diri. Orang-orang
Tionghoa juga dilarang memakai pakaian orang-orang bumiputera atau
pakaian barat sehingga mudah dikenali. Dan hubungan yang selama ini
harmonis dengan pribumi tinggalah kenangan belaka.
Puncaknya ketika rezim yang menamakan Orde Baru memproklamirkan bahwa
etnis Tionghoa adalah “otak” PKI yang kemudian diikuti dengan
pembunuhan, pembataian, pemusnahan semua yang berbau Tionghoa. Segala
produksi kebudayaan yang bernuansa Tionghoa pun dibabat habis. Kebijakan
rezim Orde Baru yang tidak menghargai pluralisme, terutama terhadap
etnis Tionghoa, sangat bertolak belakang dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika yang menjadi semboyan Republik ini, yaitu berbeda-beda tetapi tetap
satu jua.
Di era Orde Baru diskriminasi terhadap etnis Tionghoa terjadi dalam
bidang politik dan kultural (budaya). Diskriminasi kultural misalnya
tampak dalam peraturan ganti nama yang diatur dalam Keputusan Presidium
Kabinet No 127/U/Kep/12/1966, Inpres No 14/1967 yang mengatur perayaan
keagamaan/tradisi yang dibatasi hanya di lingkungan sendiri (bukan
tempat umum), pengenaan SBKRI, pemberian kode khusus pada KTP yang
berbeda dan lain sebagainya. Bahkan dibuat satu badan intelijen khusus
yang bertugas mengawasi masalah Tionghoa, yaitu Badan Koordinasi Masalah
Cina (BKMC), suatu penamaan yang mengesankan bahwa keberadaan Tionghoa
di Indonesia memang merupakan masalah.
Secara formal orang-orang Tionghoa juga dijauhkan dari kehidupan
politik karena adanya kecurigaan Orde Baru terhadap keterlibatan RRC
(Republik Rakyat Cina) dalam peristiwa September 1965, yang kemudian
berubah menjadi kecurigaan pada orang-orang Tionghoa. Dengan kata lain,
rezim Orde Baru secara sistematis menciptakan “tahyul politik” terhadap
masyarakat Tionghoa dengan mengaitkan peran politik mereka bersinggungan
dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Apa yang dilakukan rezim
Soeharto itu, selaras dengan kepentingan politik luar negeri Amerika
Serikat dan Inggris, yaitu untuk merusak hubungan persahabatan dan
diplomatik antara pemerintah Indonesia dan RRC.
Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi terlibat dalam Gerakan 30 September termasuk tokoh, anggota dan simpatisan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia–Baperki (Sebuah ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa) dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa.
Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi terlibat dalam Gerakan 30 September termasuk tokoh, anggota dan simpatisan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia–Baperki (Sebuah ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa) dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa.
Baperki dijadikan stigma untuk menakut-nakuti etnis Tionghoa agar
menjauhi wilayah politik, apalagi setelah Baperki di tuduh sebagai
organisasi yang berhaluan komunis. Setelah menghancurkan harga diri
etnis Tionghoa dengan mengganti sebutan Tionghoa menjadi Cina, melarang
perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa secara terbuka,
melarang penggunaan bahasa dan cetakan dalam bahasa Tionghoa dan anjuran
agar mengganti nama yang berbau Tionghoa, etnis Tionghoa hanya diberi
ruang untuk melakukan bisnis semata. Kalaupun ada segelintir etnis
Tionghoa yang terjun dalam politik praktis, mereka hanya dijadikan
bendahara atau mesin penghasil uang saja. Bahkan di era Orde baru muncul
sebuah pemeo, “jika anda bermata sipit, anda tidak mempunyai tempat di
republik ini”.
Tapi anehnya walaupun pemerintah Orde Baru menerapkan kebijaksanaan
politik anti Tionghoa, tetapi dalam usaha membangun perekonomian di
sektor riil, etnis Tionghoa diberi peran dan peluang yang sangat besar.
Malahan segelintir etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh pihak penguasa
untuk melakukan KKN demi menumpuk kekayaan pribadinya. Lahirlah sejumlah
kecil konglomerat-konglomerat jahat yang bersama para penguasa Orde
Baru “merampok” kekayaan negara. Hal inilah yang kembali menjadi stigma
buruk yang dilekatkan pada diri etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh
etnis Tionghoa adalah “binatang ekonomi” yang tidak bermoral. Hal ini
juga tidak bisa dilepaskan dari asumsi yang tidak mendasar bahwa etnis
Tionghoa yang hanya 2% dari populasi penduduk Indonesia, menguasai 70%
perekonomian nasional.
Label 2% dan 70% menjadi hingar-bingar diakhir tahun ‘90-an seiring
krisis ekonomi melanda Asia, hal ini dikarenakan tendensi bombastis
sejumlah jurnalis masa lalu yang salah mengutip penelitian Michael
Backman pada tahun 1995 tentang kapitalisasi pasar dari 300 konglomerat
Indonesia. Backman menemukan 73% total kapitalisasi pasar dimiliki oleh
etnis Tionghoa. Walaupun memang citra kekuatan ekonomi komunitas
Tionghoa ini sudah ada sejak zaman kolonial. Akan tetapi ekonom Faisal
Basri menolak anggapan kalau etnis Tionghoa menguasai aset terbesar di
negeri ini. Menurut Faisal aset terbesar saat ini justru dimiliki BUMN
(Badan Usaha Milik Pemerintah).
1. Akar Konflik Etnis Priubumi Vs Tionghoa
Dalam menggambarkan konflik etnis, pribumi dan Tionghoa di Indonesia,
prespektif instrumental dan konstruktivis ini lebih dominan. Hal ini
bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang mengkonstruksi streotipe
negatif bagi etnis Tionghoa di mata etnis pribumi sehingga menciptakan
kesenjangan dalam bidang ekonomi. Di era Orde Baru Etnis Tionghoa
dijadikan sebagai bumper, apabila terjadi kesenjangan sosial, mereka
(etnis Tionghoa) dijadikan kambing hitam yang membuat ekonomi Indonesia
terpuruk sehingga mereka dimanfaatkan sebagai tameng untuk melindungi
pemerintah Orde Baru dari perlawanan rakyat.
Konflik etnis pribumi dan etnis Tionghoa ini terjadi bukan murni
disebabkan oleh etnis, namun lebih mengarah kepada kebijakan pemerintah.
Hal ini bisa dilihat bagaimana pemerintah khususnya Orde Baru mencoba
memberikan porsi yang begitu dominan bagi etnis Tionghoa untuk
menguasahi bidang ekonomi namun menutup peran mereka di bidang lain.
Lihat saja bagaimana pemerintah Orde Baru menerapkan kebijaksanaan
politik anti Tionghoa, tetapi dalam usaha membangun perekonomian di
sektor riil, etnis Tionghoa diberi peran dan peluang yang sangat besar.
Malahan segelintir etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh pihak penguasa
untuk melakukan KKN demi menumpuk kekayaan pribadinya. Lahirlah sejumlah
kecil konglomerat-konglomerat jahat yang bersama para penguasa Orde
Baru “merampok” kekayaan negara. Hal inilah yang kembali menjadi stigma
buruk yang dilekatkan pada diri etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh
etnis Tionghoa adalah “binatang ekonomi” yang tidak bermoral. Ini jelas
akan menimbulkan kecemburuan sosial pada masyarakat pribumi dan jelas
akan menimbulkan konflik terbuka.
Dalam bukunya, World On Fire, Profesor Army Chua dari Yale
University, menunujukan peran yang signifikan etnis Tionghoa sebagai
“Market Dominant Minorities” di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
“Market Dominant Minorities” adalah istilah untuk menunjukan sekelompok
etnis tertentu yang mendominasi pasar atau ekonomi. Amy menunjukan
bagaimana pasar bebas telah menyebabkan terjadinya kosentrasi kekayaan
secara tidak proposional ditangan etnis minoritas. Amy juga menunjukan
hipotesis bahwa dengan berlangsungnya demokrasi, dimana kekuasaan secara
politis berada di tangan etnis mayoritas, apabila tidak dicermati
dengan baik, fenomena “Market Dominant Minorities” dan demokrasi dalam
bentuk mentah berpotensi menimbulkan konflik antar etnis. Puncaknya
Tragedi Mei 1998 di Jakarta, kerusuhan yang berbau rasis (konflik etnis)
ini banyak memakan korban jiwa di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia
yang kemudian juga menyebar di beberapa kota di Indoensia. Dan semua itu
diciptakan oleh Orde Baru yang mengaku menghargai pluralitas.
Komentar
Posting Komentar